Selasa, 24 Agustus 2010

Boikot Produk Malaysia

Boikot Produk Malaysia,Yuk

PERILAKU pemerintah
Malaysia terhadap bangsa
Indonesia semakin hari
semakin tak terkendali.
Berbagai kejadian kian
menunjukkan rendahnya
itikad bertetangga baik
yang diperlihatkan negeri
itu.
Perilaku tidak beradab
Malaysia, yang terus
meremehkan harga diri
dan melecehkan
kedaulatan Indonesia,
jarang terjadi pada masa
Orde Baru di bawah
Presiden Soeharto. Ini
mungkin terkait dengan
karakter dan
kepemimpinan Presiden
Soeharto yang kuat
(terlepas dari segala
kekurangannya),
sehingga menimbulkan
respek dari Mahathir
Mohammad, Perdana
Menteri Malaysia saat itu,
kepada Pak Harto dan
Indonesia.
Di bawah Pak Harto,
kepemimpinan Indonesia
di kalangan negara-
negara ASEAN memang
menonjol. Sementara
pada era Bung Karno,
Malaysia malah nyaris
dijadikan salah satu
provinsi Indonesia,
sehingga negeri jiran itu
terpaksa berlindung di
balik ketiak Barat (AS dan
Inggris khususnya).
Namun seiring krisis
moneter yang menghajar
Indonesia pada 1997,
disusul jatuhnya rezim
Orde Baru, pelan tapi
pasti sikap bersahabat
dan hormat Malaysia
kepada Indonesia
semakin hari semakin
menurun.
Kemudian Malaysia bukan
saja tak segan memburu
dan mengusir para
perantau ilegal dari
Indonesia yang dijuluki
“ pendatang haram”,
mereka juga berani
menyerobot Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Malaysia memanfaatkan
hukum internasional dan
keteledoran Indonesia,
yang enggan mengurus
pulau-pulau terluarnya,
untuk menguasai dua
pulau cantik itu.
Lantas Malaysia
melakukan klaim atas
Blok Ambalat di Laut
Sulawesi yang kaya
minyak dan diam-diam
memindahkan patok
perbatasan di sejumlah
tempat di Kalimantan
Timur. Tindakan itu
masih disusul lagi dengan
serangkaian
penyerobotan sejumlah
aset budaya Indonesia
secara diam-diam. Mulai
batik, tari pendet, reog
ponorogo, lagu rasa
sayange, hingga keris,
ingin diklaim mereka.
Walhasil wajar jika lama
kelamaan rakyat
Indonesia geram dengan
perilaku Malaysia. Bahkan,
saking muaknya, tak
sedikit generasi muda
Indonesia yang gemar
memplesetkan Malaysia
sebagai Malingsia, alias
negara atau bangsa
maling (pencuri).
Tuduhan sebagai negara
maling tadi makin
mendapat pembenaran
ketika baru-baru ini aparat
polisi Diraja Malaysia
melindungi para nelayan
negeri itu yang mencuri
ikan di perairan Pulau
Bintan, Kepulauan
Riau.Bukannya
memperingatkan para
nelayannya agar tidak
mencuri ikan di
Indonesia, aparat
Malaysia justru
menyandera tiga petugas
Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI, untuk
ditukar dengan
nelayannya yang
tertangkap basah
mencuri itu.
Walapun diperlakukan
secara tak senonoh
begitu, seperti bisa
diduga, reaksi Presiden
SBY pun adem ayem
saja. Bukannya marah,
SBY justru buru-buru
meminta agar insiden itu
diselesaikan dengan baik.
Seperti biasanya, “baik” di
sini artinya ialah kitalah
yang mengalah dengan
melepaskan tujuh
nelayan pencuri itu untuk
dibarter dengan 3
petugas RI yang
disandera Malaysia.
Pendekatan SBY yang
acap disebutnya “soft
power” ini memang tidak
mengherankan. Namun,
dalam prakteknya, “soft
power” bukan dimaknai
dalam arti kekuasaan
yang lembut atau
nonkekerasan, melainkan
lembek atau lemah.
Akibatnya, karakter
Indonesia sejak dipimpin
SBY memang
menunjukkan sebagai
bangsa yang lemah,
lembek, dan mudah
dipermainkan. Ini sejalan
dengan kualitas
kepemimpinan yang
diperlihatkan SBY sendiri,
yang dikenal sebagai
sosok peragu, lamban,
penakut, tidak tegas,
penuh basa-basi, dan
terlalu banyak
pertimbangan.
Sebagai Presiden dari
negara dengan jumlah
penduduk terbesar
keempat di dunia, rekam
jejak SBY memang
memprihatinkan.
Presiden yang
purnawirawan perwira
tinggi TNI AD ini
sayangnya hanya bisa
bersikap tegas ketika
harga diri pribadinya
merasa diremehkan
ketimbang saat
kedaualatan negara dan
harga diri bangsa yang
dilecehkan orang lain.
Buktinya, SBY marah-
marah ketika pidatonya
tidak di dengar oleh para
menteri pembantunya.
Baik karena menteri-
menteri itu tertidur atau
asyik ngobrol sendiri.
SBY juga marah ketika
rapat gubernur se-
Indonesia dengan dirinya
ternyata sebagian
gubernur juga asyik tidur
atau berbicara sendiri.
Di luar itu, SBY juga sigap
merespon dan langsung
“ curhat” kepada rakyat
ketika muncul isu dirinya
menjadi sasaran teroris.
Bahkan ketika merasa
difitnah telah menikah
sebelum masuk ABRI
pun, SBY segera
melaporkan
pemfitnahnya ke kantor
polisi. SBY juga
meradang saat dirinya
merasa dipersamakan
dengan kerbau “Sibuya”
oleh para demonstran
beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, tatkala rakyat
atau bangsa yang
dizalimi, tampaknya SBY
malah tidak pernah
geram atau tersinggung.
Menghadapi persoalan
rakyat banyak, SBY lebih
suka menjalankan
kekuasaannya secara
tidak langsung (indirect
rule), melalui tim-tim atau
satgas-satgas yang
dibentuknya. Satgas-
satgas ini rupanya
sekaligus berfungsi
sebagai tameng,
sehingga jika muncul
masalah maka satgaslah
yang dikecam publik,
bukan SBY secara
langsung.
Satgas Anti Mafia Hukum,
misalnya, sangat sakti
karena seperti berdiri di
atas kejaksaan, kepolisian,
bahkan Mahkamah
Agung dan KPK.
Sementara SBY sendiri
selalu berlindung di balik
alasan “tidak bisa
mengintervensi polisi dan
jaksa ” yang merupakan
bawahannya itu. Seolah-
olah argumennya itu
menunjukkan dia
menjunjung tinggi
independensi penyidik
dan supremasi hukum.
Padahal sejatinya justru
menggambarkan sikap
Presiden yang takut
memikul risiko dan mau
cari amannya saja, serta
tidak tahu hukum.
Jika tahu hukum, SBY
mestinya mengerti
bahwa jika suatu perkara
belum masuk pengadilan
(yudikatif), maka masih
menjadi domain atau
wilayah tugas eksekutif,
karena polisi dan jaksa
adalah bagian dari
pemerintah. Maka dalam
konteks ini, Presiden
sangat bisa
memerintahkan Kapolri
dan Kejagung, karena
merupakan bawahannya.
Justru aneh jika yang
“ memerintah” kejaksaan
dan kepolisian adalah
Satgas Mafia Hukum,
karena lembaga ini tidak
dikenal konstitusi kita.
Begitupun ketika
menghadapi persoalan
dengan Malaysia dalam
kasus terakhir, SBY
cenderung memakai pola
“ indirect rule”-nya
dengan meminta Menlu
untuk menyelesaikan
kasus itu. SBY tidak
mengeluarkan statemen
yang tegas atas
kesewenang-wenangan
Malaysia.
Saatnya Rakyat Bertindak
Ketika pemimpin yang
diharapkan tampil
memimpin justru lembek
dan tidak bisa
memimpin, maka tibalah
saatnya bagi rakyat untuk
bertindak, tanpa
menunggu komando
sang pemimpin.
Demikian pula dalam
konteks persoalan
dengan Malaysia
sekarang ini.
Nah, daripada lelah
memaki-maki Malaysia
atau melakukan tindakan
melanggar HAM dengan
merazia warga Malaysia,
akan lebih produktif jika
mulai sekarang rakyat
Indonesia melakukan
boikot massal atas segala
hal yang berbau Malaysia.
Boikot massal ini bukan
saja menolak membeli
barang-barang produksi
Malaysia, tetapi juga tidak
melakukan perjalanan
wisata ke Malaysia,
termasuk menghindari
menjadi TKI/TKW di
Malaysia.
Sebagai konsumen,
jumlah rakyat Indonesia
jauh lebih besar
ketimbang Malaysia,
bahkan seperti disebut
tadi, jumlah penduduk RI
nomor 4 di dunia. Karena
itu, boikot massal oleh
rakyat Indonesia akan
punya pengaruh yang
luar biasa terhadap
produk atau perusahaan
Malaysia, terutama yang
beroperasi atau
dipasarkan di Indonesia.
Demikian pula boikot TKI/
TKW ke Malaysia bisa
mengganggu kinerja
perekonomian negeri itu,
karena akan berdampak
raibnya tenaga kerja
murah, sehingga produk
industri Malaysia akan
sulit bersaing di era
perdagangan bebas
sekarang ini.
Nah berikut ini daftar
sebagian produk dan atau
perusahaan Malaysia
yang dipasarkan atau
beroperasi di di
Indonesia:
XL : operator telepon
seluler terbesar ketiga di
Indonesia ini saham
mayoritasnya dikuasai
Telkom Malaysia Berhad,
milik Malaysia.
Petronas:kependekan dari
Petroliam Nasional
Berhad, adalah
perusahaan minyak dan
gas milik negara Malaysia.
Selain dikenal sebagai
merek Oli produksi
Malaysia, Petronas juga
membuka stasiun
pengisian bahan bakar
umum (SPBU) di
Indonesia.
Proton: singkatan dari
Perusahaan Otomobil
Nasional adalah produsen
mobil nasional Malaysia
yang didirikan pada tahun
1983 oleh PM Malaysia
saat itu, Mahathir
Mohammad. Proton juga
dipasarkan ke Indonesia.
Takaful: asuransi Takaful
adalah lembaga asuransi
syariah di Indonesia yang
saham mayoritasnya (56
persen) dimiliki Takaful
Malaysia.
K-Link: jaringan bisnis
MLM obat dan suplemen
kesehatan yang berpusat
dan dimiliki pengusaha
Malaysia. K-Link
berkembang pesat di
Indonesia.
Air Asia: maskapai
penerbangan milik
pengusaha Malaysia. Air
Asia yang menawarkan
penerbangan murah ini
juga beroperasi di
Indonesia. Kehadiran Air
Asia di Indonesia sempat
diprotes anggota Komisi
Perhubungan DPR karena
Malaysia sendiri tidak
mengizinkan maskapai
penerbangan Indonesia
beroperasi di negaranya.
MAS (Malaysia Airlines):
MAS adalah maskapai
penerbangan resmi
pemerintah Malaysia.
Hijrahair: Hijrahair adalah
maskapai penerbangan
swasta Malaysia yang
melayani rute ke
Sumatera.
CIMB Niaga, Bank
Bumiputera, BII Maybank:
bank swasta di Indonesia
yang saham
mayoritasnya dikuasai
Malaysia.
Upin & Ipin: film animasi
produksi Malaysia.
Sony: perusahaan
elektronik yang menutup
pabriknya di Indonesia
dan memindahkannya ke
Malaysia. Beberapa
produk televisi LCD,
seperti Sharp dan
Panasonic, juga buatan
Malaysia. [] Jakarta, 20
Agustus 2010.

Label: