Senin, 09 Agustus 2010

Mengapa penentuan Awal Ramadhan bisa berbeda??



Quote:
Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat Islam. Karena bulan ini adalah bulan yang penuh berkah dan banyak sekali keutamaan-keutamaanya di dalamnya. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam penentuan awal Ramadhan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Perbedaan Awal Ramadhan yang sering terjadi di negeri tercinta kita ini dikarenakan adanya perbedaan cara atau metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan, yaitu ada yang menggunakan metode hisab dan ada yang menggunakan metode ru’yah. Kalau begitu manakah metode yang benar??
Untuk menjawab pertanyaan tersebut coba simak dengan teliti yang ini dulu gan :

Quote:
Cara Menentukan Awal Bulan Ramadhan

Secara umum, penentuan awal Ramadhan dapat ditentukan dengan 2 metode, yaitu:

1. Ru’yah hilal
Metode Ru’yah hilal adalah penentuan awal bulan Hijriyah dengan melihat bulan secara langsung dengan “mata telanjang”.

2. Hisab
Hisab yaitu menghitung melalui penanggalan bulan ke bulan lainnya sesuai perjalanan matahari untuk menentukan awal bulan.

Dalil-dalil yang Menggunakan Ru’yah

1. QS. Al-Baqarah: 189
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah hilal-hilal itu adalah merupakan patokan waktu bagi (ibadah-ibadah) manusia dan haji.”
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan hilal sebagai patokan waktu bagi manusia pada segala urusan dan ibadahnya (puasa, zakat, shalat, haji, dll). Ibnu Katsir rahimahullaahu Ta’ala berkata bahwa pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal sebagai penentuan waktu puasa kaum muslimin dan masa iddah bagi para wanita. (Tafsir Ibnu Katsir 1/226)

2. QS. Al-Baqarah: 185
Artinya: “Bulan Ramadhaan yang padanyalah diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas berupa petunjuk dan pembeda. Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikannya (hilal) maka hendaknya dia berpuasa.”

3. (HR. Bukhari, dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.”

4. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425)


Dalil-dalil yang Menggunakan hisab

1. Penganut metode hisab membangun argumentasi mereka dengan keumuman ayat-ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.”(Qs. Yunus [10]: 5).

Ayat ini dan ayat-ayat yang senada pengertiannya, tidak menunjukkan sama sekali perintah untuk memulai puasa Ramadhan dengan hisab. Ayat itu hanya berhubungan dengan kegunaan diciptakannya matahari, bulan, dan manzilah-manzilahnya (kedudukan), yakni untuk mengetahui bilangan tahun, dan waktu.

2. Penganut metode hisab juga menyandarkan pendapat mereka dengan hadits riwayat Imam Muslim:
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim].

Mereka menyatakan bahwa “perkirakanlah” disini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab. Pendapat ini pun juga lemah. Sebab, untuk menafsirkan kata “perkirakanlah”, maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan membandingkan dengan nash-nash hadits lainnya. Jika kita perhatikan nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa faqdurûlahu (perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya”.
Sebagaimana riwayat lain menyebutkan:“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”

3. penganut metode hisab juga menyatakan bahwa kata liru’yatihi (melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata ra’a, dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’a, bisa diartikan dengan memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Pendapat ini juga lemah. Bila kita perhatikan keseluruhan nash hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Rasul bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
Quote:
dari uraian di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa metode yang yang paling benar untuk menentukan awal Ramadhan adalah metode RU'YATUL HILAL sedangkan menggunakan metode hisab merupakan cara yang tidak tepat. Karena di dalam haditsnya pun Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas sekali bahwa penentuan awal Ramadhan adalah dengan cara melihat hilal (bulan).

Di thread ini TS tidak bermaksud menyalahkan atau memihak suatu golongan atau ormas Islam tapi ane hanya berusaha mencoba memaparkan kebenaran yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits. Untuk itu TS menyarankan dalam menyikapi masalah ini (penentuan awal Ramadhan) hendaknya kita mengikuti keputusan pemerintah saja. Hal ini dilakukan agar kita tetap bersatu dan tidak berpecah belah satu sama lainnya. Kita tidak perlu khawatir karena pemerintah pun menetapkan awal Ramadhan dengan cara melihat hilal dari berbagai tempat yang dilakukan oleh para ahlinya dan kemudian diputuskan melalui sidang Itsbat.

Mengikuti keputusan pemerintah dan bersatu dalam menetapkan awal puasa Ramadhan juga sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda: "(Hari) berpuasa ialah hari ketika kalian semua berpuasa, sedangkan (hari) berbuka puasa ialah hari ketika kalian semua berbuka puasa." (H.R. Tirmidzi)

Label: